Kontroversi pernikahan, masuk Islam dan julukan Burung Merak

Baru pada usia 24 tahun, ia menemukan cinta pertama pada diri Sunarti Suwandi. Dari wanita yang dinikahinya pada 31 Maret 1959 itu, Rendra mendapat lima anak: Teddy Satya Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana, Daniel Seta, Samuel Musa, dan Klara Sinta. 

Satu di antara muridnya adalah Bendoro Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat, putri darah biru Keraton Yogyakarta, yang bersedia lebur dalam kehidupan spontan dan urakan di Bengkel Teater. Tugas Jeng Sito, begitu panggilan Rendra kepadanya, antara lain menyuapi dan memandikan keempat anak Rendra-Sunarti.

Ujung-ujungnya, ditemani Sunarti, Rendra melamar Sito untuk menjadi istri kedua, dan Sito menerimanya. Dia dinamis, aktif, dan punya kesehatan yang terjaga, tutur Sito tentang Rendra, kepada Kastoyo Ramelan dari Gatra. Satu-satunya kendala datang dari ayah Sito yang tidak mengizinkan putrinya, yang beragama Islam, dinikahi seorang pemuda Katolik. Tapi hal itu bukan halangan besar bagi Rendra. Ia yang pernah menulis litani dan mazmur, serta memerankan Yesus Kristus dalam lakon drama penyaliban Cinta dalam Luka, memilih untuk mengucapkan dua kalimat syahadat pada hari perkawinannya dengan Sito, 12 Agustus 1970, dengan saksi Taufiq Ismail dan Ajip Rosidi.

Peristiwa itu, tak pelak lagi, mengundang berbagai komentar sinis seperti Rendra masuk Islam hanya untuk poligami. Terhadap tudingan tersebut, Rendra memberi alasan bahwa ketertarikannya pada Islam sesungguhnya sudah berlangsung lama. Terutama sejak persiapan pementasan Kasidah Barzanji, beberapa bulan sebelum pernikahannya dengan Sito. 

Dikutip dari pribuminews, Rendra lahir dari keluarga Katolik taat pada 7 November 1935 di Solo. Namun belakangan dia resah dan menceritakan kegelisahannya itu kepada sastrawan Ajip Rosidi.

“Selama di Amerika untuk menenteramkan kegelisahan itu dia mempelajari agama Budha dan agama-agama Asia yang banyak dipelajari anak-anak muda Amerika… seperti agama Krisyna dan semacamnya. Tapi belakangan minatnya tertarik kepada Islam,” kata Ajip dalam otobiografinya, Hidup Tanpa Ijazah.

Menurut Ajip, pengaruh terbesar kepada Rendra untuk menyelami Islam adalah Syu’bah Asa, yang ketika itu mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga dan aktif menjadi anggota Bengkel Teater yang dipimpin Rendra. Syu’bah Asa memperkenalkan naskah Barjanzi yang diterjemahkannya kepada Rendra. 
Barjanzi merupakan karya sastra berisi pujian, sanjungan dan doa yang ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw. yang ditulis oleh Sayid Ja’far al-Barzanji.

Rendra sangat tertarik kepada naskah tersebut, yang kemudian dipentaskan oleh Bengkel Teater. Pertunjukan itu mendapat sambutan hangat dari penonton dan kritikus, sehingga dipertunjukkan di berbagai kota. “Saya kira tidak kecil pengaruh pengalamannya mementaskan Barzanji itu sehingga dia sampai pada keputusan untuk memeluk agama Islam,” kata Ajip.

Rendra merasa hatinya sudah mantap untuk menjadi Muslim. Secara resmi dia mengucapkan sahadat di depan KH Ghafar Ismail, Taufik Ismail, dan Ajip Rosidi, di rumah Taufiq di lingkungan Taman Ismail Marzuki Jakarta. Setelah itu, Taufiq membuat pernyataan tertulis yang dia tandatangani bersama Ajip. Ghafar, kakak Taufiq, mengajari Rendra salat. Setelah menjadi Muslim, nama awal (WS) berubah dari Willibrordus Surendra Broto Rendra menjadi Wahyu Sulaiman Rendra.

Menurut peneliti dan penerjemah sastra Indonesia, Harry Aveling, surat kabarAngkatan Baru (1 Mei 1969) menerangkan bahwa Renda itu “adalah pemeluk agama Katolik yang baik.” Namun, anehnya enam bulan sebelumnya, Angkatan Baru (24 November 1968) telah memberitakan bahwa “WS Rendra dan istri keluar dari agama Katolik.” Padahal, Rendra baru masuk Islam pada 1970. “Sebab menurut perasaannya gereja tidak lagi menghubungkan manusia dengan Tuhan. Sekarang Rendra adalah seorang Islam,” tulis Harry Aveling dalam Rumah Sastra Indonesia.

Tidak lama setelah masuk Islam, Rendra menikah lagi dengan Sitoresmi. “Dan ketika tak lama kemudian dia menikahi istri keduanya yang masih muda –anggota Bengkel Teaternya– orang mengerti mengapa Rendra begitu bersemangat masuk Islam,” tulis Niels Mulder dalam Di Jawa Petualangan Seorang Antropolog.

Menurut Ajip, sebagai Muslim Rendra tentu saja boleh bermadu (poligami). Karena itu ada orang yang mengatakan bahwa Rendra masuk Islam hanya karena mau bermadu. “Tetapi suara demikian selalu aku bantah karena aku boleh dikatakan mengikuti proses kegelisahan Rendra sejak awal. Aku yakin Rendra masuk Islam karena keyakinan dan karena hidayah dari Allah. Bahwa dia kemudian memanfaatkan kemuslimannya untuk bermadu, aku anggap soal lain,” kata Ajip.

Kesungguhan Rendra masuk Islam, menurut kesaksian Ajip, terlihat dalam menjalankan syariat sehari-hari seperti salat, “walaupun dia tidak segera meninggalkan kebiasaannya minum-minuman keras. Ketika dia berkunjung beberapa hari ke rumah saya di Osaka pada tahun 1988 misalnya dia masih minum bir. Tapi saya kira kebiasaan itu pun kemudian ditinggalkannya.”

Niels Mulder sepakat dengan Ajib bahwa “tampaknya Rendra bersungguh-sungguh dalam hal ini (masuk Islam, red): dia berhenti minum-minuman keras dan tidak lagi makan daging babi.”

Dalam sebuah wawancaranya Rendra di Bandung yang juga kami kutip ia bertutur kisahnya dan sangat lengkap dimana ia bertutur “Jika ada agama yang sanggup memberikan kepuasan intelektual dan spiritual kepada saya, agama itu adalah agama Islam.

Alasan Prinsipil 


Saya berani mengatakan demikian karena saya punya pengalaman memeluk banyak agama dan bahkan pernah tidak beragama, dalam pengertian hanya percaya pada adanya Tuhan Yang Mahakuasa!” ujar penyair Rendra

Tapi alasan yang lebih prinsipil bagi Rendra, karena Islam bisa menjawab persoalan pokok yang terus menghantuinya selama ini: kemerdekaan individual sepenuhnya. Saya bisa langsung beribadah kepada Allah tanpa memerlukan pertolongan orang lain. Sehingga saya merasa hak individu saya dihargai, katanya sambil mengutip ayat Quran, yang menyatakan bahwa Allah lebih dekat dari urat leher seseorang.

Toh kehidupannya dalam satu atap dengan dua istri menyebabkan Rendra dituding sebagai haus publisitas dan gemar popularitas. Tapi ia menanggapinya dengan ringan saja. Seperti saat ia menjamu seorang rekannya dari Australia di Kebun Binatang Gembira Loka, Yogyakarta. 

Ketika melihat seekor burung merak berjalan bersama dua betinanya, Rendra berseru sambil tertawa terbahak-bahak, Itu Rendra! Itu Rendra!. Sejak itu, julukan Burung Merak melekat padanya hingga kini. Dari Sitoresmi, ia mendapatkan empat anak: Yonas Salya, Sarah Drupadi, Naomi Srikandi, dan Rachel Saraswati

Sang Burung Merak kembali mengibaskan keindahan sayapnya dengan mempersunting Ken Zuraida, istri ketiga yang memberinya dua anak: Isaias Sadewa dan Maryam Supraba. Tapi pernikahan itu harus dibayar mahal karena tak lama sesudah kelahiran Maryam, Rendra menceraikan Sitoresmi pada 1979, dan Sunarti pada tahun 1981.


17-8-2009
Oce, dari berbagai sumber (diperbarui 2016)