Menetes Air Mata Bersama Ratusan Penghafal Qur'an


Catatan Mona Mochild

SETELAH dua hari berjuang menghadapi reaksi antibodi sendiri terhadap vaksin Astrazeneca, demam sakit kepala, kembung dll. yang paling saya khawatirkan adalah tak dapat hadir dalam majelis yang saya nantikan untuk hadir, yaitu Haflatul Wada' Mahasantri Pondok Tahfidz Al Quran Ibadurrahman (wisuda santri)

Apa yang saya rindukan dan tak mau melewatkan momen seperti ini?

Melembutkan hati dan menasihati diri.

Benarlah adanya..sejak acara dimulai saya tak berhenti menitikkan air mata.
Berkumpul dengan ratusan penghafal Quran, diri ini serasa jadi remah di pinggir pinggan. Ke tengah tiada berani, jatuh ke meja atau ke lantai berasa takut.

Jadilah menepi saja, menatap para santri tak berhenti memuji dan menyampaikan salut penghormatan buat Gurunda Syuryadi Amir, beserta Ummi Titin, ustadz Nasrullah  dan para pengasuh lainnya..

Dari  pinggiran kota Muara Enim, dan hampir di pojok Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan Pondok Pesantren Ibadurrahman mendidik dan membesarkan generasi Quran" Gratis!!!" Benar-benar tanpa dipungut biaya.

Ustadz yang diakui santri sendiri, berperawakan kecil, tapi berfikiran besar dan bercita cita tak kalah besar.
Melalaui metode menghafal "seperti diujung lidah" setiap santri bisa menyebutkan ayat Al Quran tanpa berfikir lagi, di mana halamannya, surat berapa, juz berapa dua halaman ke depan sekian halaman ke depan dan seterusnya.
Dan diadakan demonstrasinya langsung.

Benar benar luar biasa, saya membatin. Maha santri dari berbagai daerah di Indonesia dari Aceh, bahkan yang dari Papua sudah dalam perjalanan dengan kapal menuju ke sini...  Ada santri dari negara jiran dan ada yang gagal datang karena Covid.

Salah satu ucapan ustadznda Syuryadi yang membuat jantung saya teriris adalah, suap nasi beliau kerap terhenti selera makan beliau hilang karena memikirkan anak-anaknya...

(Malu diri ini yang bisa menyuap enak ..lupa bagaimana bangsa sedang digempur banyak persoalan..dan persoalan paling mendasar tentulah estafet generasi terbaik)

Meski tahfidz adalah fokusnya, beliau menanamkan akhlak dan budi utama sebagai santri sebagai syarat pengasuhannya, lemah lembut adalah identitas yang beliau sematkan dalam setiap anak-anaknya.

Saya berbisik, saya terlambat buat masuk pondok tahfidz.. saya kecepatan lahir... 
Tak berapa saat dari ucapan saya tersebut,  dengan bangga beliau panggil seorang mahasantri beliau dari Kalimantan...berusia 56 tahun...
( Ya Allah...malu kesekian kali nya)

"Memang tiada yang ikut mulia jika berdekatan dengan yang mulia..."

Kembali soal diri seumpama remah nasi ini, merasa ikut dalam kemuliaan... seandainya saja satu penghafal Quran bisa memberi syafaat buat sekian orang...semoga Hamba salah satunya Ya Allah...semoga hamba Ya Allah..tiada malu hamba berharap hadir di sini dan semoga menjadi bagian dari majelis yang berkumpul seperti ini kelak di hari pembalasan...
Redaksi TNCMedia

Support media ini via Bank Rakyat Indonesia (BRI)- 701001002365501 atau melalui Bank OCBC NISP - 669810000697

1 Komentar

Silakan Berkomentar di Sini:

Lebih baru Lebih lama