Orang Minang Terkemuka di Pentas Sejarah



Wartawan Senior, Tokoh Pers Indonesia

Mengawali tahun pertama Milenium III, Majalah Tempo memulai tradisi penerbitan edisi khusus “100 Tahun” tokoh-tokoh terkemuka Republik Indonesia. Sejak yang pertama, “100 Tahun Soekarno” pada tahun 2001, hingga yang terakhir edisi khusus “100 Tahun Sjahrir” semuanya sudah enam tokoh paling terkemuka Indonesia yang dikupas tuntas biogrfinya. Mereka adalah Soekarno, Hatta, Aidit, Tan Malaka, Natsir, dan Sjahrir. Kalau kita cermatinya, empat dari tujuh tokoh “100 Tahun” itu ternyata adalah orang Minang.
Sejarah telah mencatat bahwa Minangkabau adalah salah satu suku bangsa yang mempunyai peranan menonjol di pentas sejarah nasional Indonesia, bahkan di Asia Tenggara. Kontribusi mereka paling tidak dapat dilihat dari dua hal; pertama sumbangannya yang besar dalam khasanah pemikiran dan intelektualitas Indonesia; dan kedua, kontribusi dan peranan yang menonjol dalam melahirkan para pemimpin dan elite bangsa. Orang Minang punya jejak sejarah yang mendalam mulai dari pengislaman raja-raja dan rakyat Sulawesi Selatan oleh Datuk Ri Bandang dkk. (awal Abad ke-17); masa pergerakan hingga proklamasi kemerdekaan, zaman Orde Lama, Orde Baru, sampai era Reformasi kini.

Menurut Harry Poeze, sejarawan Belanda penulis Biografi Tan Malaka, ada tujuh Begawan Revolusi Indonesia. Tiga di antara mereka adalah orang Minang: Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka –empat lainnya Soekarno, Sudirman, Amir Sjarifuddin, dan A.H. Nasution. Bahkan, dua di antara Triumvirat di puncak piramid The Founding Fathers (Bapak Bangsa) Indonesia –Soekarno, Hatta, Sjahrir— dua adalah orang Minang.

Bila dikembang ke wilayah yang lebih luas lagi, sejarah juga mencatat bahwa Kerajaan Negeri Sembilan di Malaysia didirikan oleh orang Minang dengan mendatangkan Raja Malewar ke negeri semenanjung itu. Keturunan raja-raja dari Minangkabau itulah yang kemudian dicatat oleh sejarah yang terus memimpin negeri itu hingga hari ini. Salah satunya Tuanku Abdul Rahman, Yang Dipertuan Agong Malaysia yang pertama, wajahnya dibadikan di setiap lembaran uang kertas ringgit Malaysia.

Juga kalau kita kita perhatikan, semua pecahan uang kertas dolar Singapura dihiasi oleh gambar wajah yang sama. Di situ tertulis pula nama pemilik wajah: Yusof bin Ishak. Dialah Presiden Republik Singapura yang pertama, seorang keturunan Minangkabau pula. Melengkapi nama Yusof, tercatat pula dalam sejarah Republik Singapura nama Zubir Said. Dia, pencipta lagu kebangsaan Singapura “Majulah Singapura” dan penggubah lebih 1.000 buah lagu, adalah putra Minangkabau tulen yang dilahirkan di Bukittinggi.

Bidang kesusastraan adalah salah satu lapangan kehidupan di mana peranan putra-putra Minang juga sangat menonjol. Dari angkatan Pujangga Baru, ada nama-nama seperti Marah Roesli, Nur Sutan Iskandar, Hamka, Aman Dt. Madjoindo. Demikian pula pada sastrawan Angkatan 45, terdapat nama-nama yang abadi dalam sejarah seperti Chairil Anwar, Idrus, Asrul Sani, Rivai Apin dan lain-lain. Bahkan, di bidang per-filman, Usmar Ismail yang dijuluki sebagai Bapak Perfilman Nasional Indonesia, adalah putra Minang juga.

Kalau ditarik kesempulnanya, orang Minang senantiasa hadir dalam berbagai bidang dan pada semua tahapan sejarah bangsa ini: bermula sejak Abad ke-17, masa sebelum Kebangkitan Nasional; masa Kebangkitan Nasional; selama periode perjuangan dan pergerakan Kemerdekaan; Proklamasi Kemerdekaan, Perang Kemerdekaan; hingga masa mengisi kemerdekaan –Orde Lama, Orde Baru, hingga era Reformasi dewasa ini. Hanya pada dekade setelah Pergolakan Daerah 1958, peranan orang Minang di pentas elite nasional mengalami sedikit kemunduran. Tapi setelah itu dengan cepat mereka pun menemukan peranannya kembali di atas panggung sejarah bangsa ini.

Orang Minang yang Selalu Ada

Ada masanya orang Minang merasa mencapai puncak kejayaan mereka karena mampu memberikan kontribusi yang besar dalam proses perjalanan dan perkembangan bangsa ini. Perasaan itu terutama muncul pada awal hingga pertengahan abad ke-20, periode pergerakan hingga dekade pertama setelah Proklamasi Kemerdekaan. Ketika itu, peranan tokoh dan pemimpin pergerakan yang berasal dari tanah Minangkabau memang tampak sangat menonjol. Kalau dihitung dengan jari kedua tangan jumlah tokoh pergerakan paling terkemuka Indonesia, mungkin sekitar separuhnya adalah orang Minang. Sebutlah Mohammad Hatta, Tan Malaka, Sutan Sjahrir, Haji Agus Salim, Mr. Muhammad Yamin, dan Mohammad Natsir. Di tarik agak ke belakang, ada lagi nama yang lebih senior seperti Abdul Rivai dan Abdul Muis.

Sumbangan suku bangsa Minangkabau dalam melahirkan para pemimpin dan elite bangsa ini juga dapat dilihat dari tingginya proporsi mereka dibandingkan jumlah penduduk maupun luas daerah asal mereka terhadap penduduk dan luas wilayah Indonesia. Jumlah etnis Minangkabau di Sumatera Barat dan yang tersebar di berbagai tempat lain di Tanah Air, hanya berkisar 2 – 4 persen dari total penduduk Indonesia. Namun sumbangan mereka dalam melahirkan para pemimpin dan elite nasional jauh di atas proporsi jumlah penduduk tersebut.

Budayawan A.A. Navis pernah menghitung, dari 377 nama tokoh dan orang terkemuka Indonesia yang dimuat dalam Ensiklopedi Indonesia edisi 1956, sebanyak 71 di antaranya adalah orang Minangkabau. Artinya, orang Minang menyumbang 19 persen dari jumlah seluruh orang terkemuka Indonesia (Navis, 1999).

Tiga puluh tahun kemudian, terjadi penurunan porsi orang Minang di antara semua orang terkenal Indonesia. Dalam Ensiklopedi Indonesia edisi 1986, dari 1.153 jumlah orang termuka Indonesia, “hanya” terdapat 110 yang orang Minang. Artinya terjadi penurunan persentase dari 19 persen (1956) menjadi 9,7 persen (1986). Meskipun demikian, jumlah tersebut masih di atas proporsinya karena populasi seluruh orang Minang dibanding jumlah penduduk Indonesia tidaklah melebihi 4 persen.

Orang Minang di Pentas Sejarah


Keberadaan orang Minang di antara pemimpin dan tokoh nasional bukan hanya di pentas politik dan pergerakan. Mereka juga menonjol di bidang intelektualitas, keulamaan dan pemikiran Islam, pendidikan, kesusastaraan, dan kewartawanan.
Sejak masa Kebangkitan Nasional hingga zaman Pergerakan Kemerdekaan menjelang pertengahan abad ke-20, orang Minang selalu hadir dalam kiprah dan pemikiran yang bersifat ke-Indonesia-an –bahkan mereka ada di barisan terdepan. Mereka tampil di tiga panggung sekaligus –daerah, nasional, dan internasional –dengan tujuan utama memajukan kehidupan bangsa, melawan penjajah dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Pergerakan nasional di daerah Minangkabau sendiri, didominasi oleh mereka yang berlatar belakang pendidikan agama (cendekiawan-ulama yang juga nasionalis) seperti H. Abdul Karim Amarullah (Inyiak Rasul), Muhammad Djamil Djambek, dan “Trio Permi” Muchtar Lutfi, Iljas Jacoub dan Jalaluddin Thaib. Bersama mereka terdapat pula tokoh wanita pergerakan seperti Rasuna Said, Naimah Ismail, dan Rahmah El-Yunussiyah. “Trio Permi” termasuk generasi pertama tokoh pergerakan yang merasakan penjara dan pembuangan Belanda di Boven Digul, nun tersuruk di pedalaman Papua sana. Sedangkan Rasuna Said dan Naimah Ismail pernah pula ditangkap dan dipenjarakan di Semarang.
Mereka yang bergerak di pentas politik nasional bahkan internasional umumnya adalah yang berpendidikan Barat seperti Bung Hatta, Tan Malaka, dan Sutan Sjahrir. Karena gerakan politik menentang Belanda dan memperjuangkan Indonesia merdeka, Hatta dan Sjahrir menjadi tokoh paling terkemuka Indonesia yang diasingkan Belanda ke Boven Digul. Sedangkan Tan Malaka, pada tahun 1927 sudah mendirikan Partai Republik Indonesia (Pari) dan menuliskan ide pemikirannya “Menuju Republik Indonesia” dari Bangkok.

Ketika tiba saatnya Republik Indonesia hendak didirikan, diproklamasikan lalu dipertahankan kemerdekaannya, para tokoh asal Minangkabau juga berdiri di barisan terdepan. Sewaktu Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dibentuk, orang Minang pun turut serta di sana dalam peranan yang cukup menonjol. Soekarno menjadi ketua, dan Hatta sebagai wakilnya. Haji Agus Salim dan Mr. Muhammad Yamin termasuk tokoh yang mempunyai peranan besar di dalamnya.

Puncak peranan orang Minang terjadi pada saat Negara Republik Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agsutus 1945 dan berlanjut ke satu dekade setelahnya. Tinta emas sejarah mencatat, satu dari dua penanda tangan naskah Proklamasi adalah putra terbaik dari Minangkabau, yaitu Muhammad Hatta. Dan ketika pemerintahan Republik Indonesia pertama kali dibentuk, Hatta pun dipilih menjadi Wakil Presiden. Sementara tokoh terkemuka lainnya, yang kala itu masih berusia 37 tahun, Sutan Sjahrir, tampil sebagai Ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP). Dari 137 anggota KNIP yang pertama, tercatat 12 orang Minang –mungkin suku bangsa kedua terbanyak di KNIP setelah orang Jawa (Deliar Noer & Akbarsyah, 2005).

Sumbangan rakyat Minangkabau paling penting dalam sejarah Republik Indonesia terjadi pada masa Pemerintah Darurat Repuklik Indonesia (PDRI). Tatkala ibu kota negara Yogyakarta diserang lalu diduduki dan Presiden Soekarno serta Wakil Presiden Hatta ditawan Belanda, para pemimpin Indonesia di Sumatera Barat tampil menjadi penyelamat Republik dengan mendirikan PDRI. Dengan demikian, skenario Belanda membuat Indonesia mengalami vacum of power (kekosongan pemerintahan) –sehingga tak lagi memenuhi syarat sebagai negara-- telah gagal dan berantakan. PDRI yang didirikan Mr. Sjafroeddin Prawiranegara dengan dukungan penuh para pemimpin Republik di Sumatera Barat telah menjadi penyambung nyawa Negara RI sampai kemudian dilakukan Penyerahan Kedaulatan dalam KMB di Denhaag akhir tahun 1949.

Setelah Penyerahan Kedaulatan, yakni pada masa pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS) (1949-1950), para elite Minang tampil pula secara dominan di pucuk kepemimpinan nasional. Saat itu Presiden RIS dijabat oleh Soekarno dan Hatta sebagai wakil presiden. Sedangkan pemerintahan RI, bagian terpenting dari RIS, dipimpin duet Mr. Assaat (acting presiden) dan dr. A. Halim (perdana menteri). Keduanya adalah putra Minang yang sama-sama berasal dari Banuhampu Sungai Puar.

Momen sangat penting pula dalam sejarah bangsa Indonesia terjadi pada pertengahan tahun 1950. RIS yang tidak sesuai dengan cita-cita pendirian RI dibubarkan, lalu Indonesia kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal itu terjadi ketika pemerintahan dipimpin oleh Perdana Menteri Mohammad Natsir yang orang Minang. Atas jasa-jasanya yang demikian besar dan penting, oleh Pemerintah RI Moh. Natsir telah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada tanggal 7 November 2008.

Dalam Kabinet dan Pemerintahan


Sepanjang sejarah lebih 63 tahun Indonesia merdeka sudah dipimpin oleh enam presiden dengan total 38 Kabinet –diawali Kabinet R.A.A. Wiranata Kusumah (19 Agustus – 14 November 1945) hingga Kabinet Indonesia Bersatu (19 Oktober 2004 sampai sekarang).
Selain selalu mengisi pimpinan pemerintahan sebagai menteri dan pejabat tinggi negara, suku bangsa Minangkabau juga tercatat telah menyumbangkan sejumlah putra terbaiknya menjadi pemimpin pemerintahan di berbagai provinsi di Indonesia. Terutama hal itu terjadi pada masa awal kemerdekaan, ketika banyak daerah masih kekurangan sumber daya untuk memimpin dan mengelola pemerintahan. 

Di antara orang Minang yang pernah memimpin pemerintahan di daerah lain adalah: antaranya Mr. Datuk Djamin yang menjadi Gubernur Jawa Barat yang kedua; Kolonel Daan Jahja (Gubernur Militer Jakarta, 1948-1949); Muhammad Djosan dan Muhammad Padang (Gubernur Maluku yang kedua dan ketiga, 1955-1960 dan 1960-1965); Datuk Madjo Basa Nan Kuniang (Gubernur Sulawesi Tengah yang pertama, 1964-1968); dr. Adnan Kapau Gani (Residen/Gubernur Sumatera Selatan yang pertama); dan Djamin Dt. Bagindo (Gubernur pertama Provinsi Jambi, 1956-1957).

Peranan orang Minang dalam kepemimpinan nasional pada periode tertentu tampak sangat dominan, tapi ada kalanya mungkin sebagai pelengkap saja. Dalam Kabinet Republik Indonesia yang pertama, yang dikenal dengan Kabinet R.A.A. Wiranata Kusumah, di samping Bung Hatta yang menjabat Wakil Presiden, orang Minang yang duduk dalam kabinet adalah Mr. Amir yang menjabat sebagai Menteri Negara.

Praktis dalam sembilan kabinet selama era Perjuangan Kemerdekaan (1945-1949), peranan orang Minang sangat menonjol. Bahkan lima kali kabinet di antaranya dipimpin oleh putra Minang, yakni Kabinet Sjahrir (tiga kali) dan Kabinet Hatta (dua kali). Bahkan dalam Kabinet Sjahrir (I, II, III – 14 November 1945 s.d. 27 Juni 1947), dari tiga posisi paling penting di puncak piramid kepemimpinan nasional –presiden, wakil presiden, perdana menteri— dua di antaranya diisi oleh orang Minang, yakni Mohammad Hatta (wakil presiden) dan Sutan Sjahrir (perdana menteri). Selain Hatta, Sjahrir, dan Mr. Amir, putra Minang yang pernah menjadi anggota kabinet adalah Haji Agus Salim (menteri luar negeri), Mohammad Natsir (menteri penerangan), Adnan Kapau Gani (menteri kemakmuran), dan Sutan Mohammad Rasjid (menteri dalam Kabinet PDRI).

Setelah Perang Kemerdekaan, Indonesia memasuki masa RIS dan Era Demokrasi Parlementer (1950 – 1959). Selama dekade ini, pucuk kepemimpinan pemerintahan nasional tetap diramaikan oleh putra-putra Minang. Bahkan dua dari 10 kabinet dalam periode ini dipimpin oleh putra Minangkabau, yakni Kabinet Halim (1950), dan Kabinet Natsir (1950-1951).

Tokoh-tokoh Minang yang tampil sebagai pimpinan dan anggota kabinet antara lain Mr. Assaat (Acting Presiden RI dan Menteri Dalam Negeri pada Kabinet Natsir); Dr. Abdul Halim (Perdana Menteri Kabinet Halim, Menteri Pertahanan dalam Kabinet Natsir, dan Menteri Negara dalam Kabinet Burhanuddin Harahap); Prof. Dr. Bahder Djohan (Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan dalam Kabinet Natsir dan Kabinet Wilopo); Mr. Muhammad Yamin (Menteri Kehakiman dalam Kabinet Sukirman-Suwirjo, Menteri Pendidikan Kabinet Ali Sastroamidjojo I, dan Menteri Negara dalam Kabinet Djuanda); dan Prof. Mr. Hazairin (Menteri Dalam Negeri Kabinet Ali Sastroamidjojo I).

Selanjutnya Sjamsuddin St. Makmur (Menteri Penerangan Kabinet Burhanuddin Harahap) dan Eni Karim (Menteri Pertanian), Sabilal Rajad (Menteri Perburuhan), serta Dahlan Ibrahim (Menteri Negara Urusan Veteran) dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo II (1956-1957). Lalu Kolonel M. Nazir (Menteri Pelayaran), dan Chairul Saleh (Menteri Urusan Veteran), keduanya duduk dalam Kabinet Karya pimpinan Djuanda (1957-1959).

Pada akhir tahun 1956 Bung Hatta mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden, dan mitos “Dwitunggal” Soekarno – Hatta pun terungkai. Terjadi kegaduhan politik nasional yang disusul meletusnya Peristiwa PRRI/Permesta –Pergolakan Daerah yang berpusat di Sumatera Barat tetapi juga terjadi di Sulawesi. Tahun 1959, Presiden Soekarno membubarkan Konstituante dan DPR, lalu mendekritkan kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 pada tanggal 5 Juli 1959. Sejak itu Indonesia memasuki era Demokrasi Terpimpinan.

Pergolakan PRRI (1958 – 1961) umum dianggap sebagai awal periode gelap sejarah orang Minang karena menimbulkan dampak kemunduran, bahkan kehancuran, bagi daerah ini. Bukan hanya kehancuran fisik, tetapi juga kejatuhan mental dan psikologis, sehingga terjadi kemunduran peranan orang Minang di pentas nasional. Walaupun sebenarnya, kalau keberadaan di pucuk pemerintahan nasional yang dijadikan ukuran, selama periode Demokrasi Terpimpin tersebut orang Minang tak pernah absen duduk dalam delapan kali pembentukan Kabinet sejak tahun 1959 hingga kelahiran Orde Baru (1968). Mereka adalah Mr. Muhammad Yamin, Chairul Saleh, dan Awaloedin Djamin.

Mohammad Yamin, putra Minang kelahiran Talawi, sudah memainkan peranan penting di pucuk kepemimpinan nasional sejak masa Perjuangan Kemerdekaan tanpa pernah terputus hingga akhir hayatnya. Selama periode Demokrasi Terpimpin, Yamin terlibat dalam tiga Kabinet, yakni sebagai Menteri Sosial Kulturil dalam Kabinet Kerja I; Menteri Ketua Perancang Pembangunan Nasional dalam Kabinet Kerja II; dan Wakil Menteri Pertama sebagai Koordinator Bidang khusus merangkap Menteri Penerangan dalam Kabinet Kerja III.

Sedangkan Chairul Saleh, putra kelahiran Lintau 13 September 1916 yang dikenal sebagai tokoh pejuang yang kontroversial, bahkan memainkan peranan yang sangat penting di puncak kepemimpinan nasional selama sewindu terakhir kepemimpinan Presiden Soekarno. Chairul Saleh menjadi menteri dalam lima dari delapan kabinet selama periode tersebut, dan sempat pula merangkap jabatan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Pertama kali masuk kabinet dengan jabatan Menteri Urusan Veteran dalam Kabinet Djuanda (1957), selama periode Demokrasi Terpimpin Chairul Saleh menempati berbagai pos penting: Menteri Pembangunan merangkap Menteri Perindustrian Dasar dan Pertambangan (Perdatam) Kabinet Kerja I, II dan III; lalu naik menjadi Wakil Perdana Menteri III merangkap Menko Kompartimen Pembangunan dan Menteri Perdatam pada Kabinet Kerja IV, dan kembali menjadi Wakil Perdana Menteri III dalam Kabinet Dwikora I (1964-1966).

Pergolakan politik selama dan sesudah Peristiwa G30S/PKI mengguncang posisi satu-satunya orang Minang dalam Kabinet. Chairul Saleh menjadi korbannya. Ia ditangkap dan ditahan hingga meninggal di Rumah Tahanan Militer pada tanggal 8 Februari 1967. Pada hari kematiannya, Jenderal Soeharto –penguasa de facto Indonesia sejak 1966— mengeluarkan surat klarifikasi bahwa Chairul Saleh bersih dari G30S/PKI, tuduhan yang sebelumnya diduga menjadi dasar penahanannya. Sungguh tragis nasib pejuang tersebut.

Namun patah tumbuh hilang berganti. Chairul Saleh keluar, dalam Kabinet Dwikora yang Disempurnakan muncul putra Minang yang lain, yakni Komisaris Besar Dr. Awaloedin Djamin. Perwira polisi kelahiran Padang (1926) itu diangkat menjadi Menteri Tenaga Kerja. Dalam Kabinet Ampera (1966-1968) –kabinet pertama yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto sebagai Ketua Presidium— Awaloedin Djamin kembali menempati posisi Menteri Tenaga Kerja dan pangkatnya dinaikkan menjadi Brigadir Jenderal Polisi dalam usia 40 tahun. Sepuluh tahun kemudian Awaloedin Djamin menjadi Kepala Kepolisian RI (Kapolri), orang Minang pertama dan satu-satunya hingga saat ini yang mencapai posisi tersebut.

Tiga Gubernur Jadi Menteri

Kelahiran Orde Baru yang kemudian menyebut diri sebagai koreksi total terhadap Orde Lama, mungkin bisa disebut sebagai titik balik dan kebangkitan kembali orang Minang setelah terpuruk selama periode Pergolakan Daerah hingga masa G30S/PKI. Harun Zain, putra Minang kelahiran Jakarta dan pernah berjuang sebagai Tentara Pelajar semasa Perang Kemerdekaan di Jawa Timur, tampil menjadi Gubernur Sumatera Barat yang pertama di era Orde Baru. Ia muncul dengan “Strategi Harga Diri” untuk mengembalikan semangat dan mental orang Minang yang sempat “muno” akibat trauma hebat pasca PRRI.

Sumatera Barat dengan cepat menyesuaikan diri dengan Orde Baru. Dalam Pemilu pertama Orde Baru (1971), Golongan Karya yang menjadi mesin politik dan penyangga kekuasaan Orde Baru, menang besar di daerah ini. Sebuah perubahan besar telah terjadi. Istilah sejarawan Taufik Abdullah: “Sejak awal tahun 1970-an, Sumatera Barat pun setahap demi setahap tampil sebagai ‘anak yang baik’ dalam sistem politik ‘kebapakan’ yang dipelihara oleh Orde Baru. Golkar selalu tampil sebagai pemenang besar Pemilu –dengan atau tanpa ‘serangan fajar’.” (Taufik Abdullah dalam Kata Pengantar Kahin, 2005).

Gubernur Harun Zain berhasil membangun Sumatera Barat dari puing-puing kehancuran sisa Pergolakan Daerah menjadi daerah yang maju. Fondasi dan kerangka yang telah dibangun Harun Zain dilanjutkan oleh Azwar Anas, dan berkesinambungan terus hingga kepemimpinan Gubernur Hasan Basri Durin. Ketiga gubernur tersebut menjabat selama dua periode (10 tahun), sebuah tanda keberhasilan dalam ukuran Orde Baru. Bukan hanya itu, Sumatera Barat menjadi provinsi pertama dan satu-satunya di luar Pulau Jawa yang dinilai paling berhasil pembangunannya. Dua kali daerah ini meraih tanda penghargaan pembangunan tertinggi: Parasamya Purnakarya Nugraha Pelita III (1984) semasa pemerintahan Azwar Anas dan Prayojana Kriya Pata Parasamya (1994) di bawah kepemimpinan Hasan Basri Durin.

Bersamaan dengan keberhasilan pembangunan Sumatera Barat, di pentas nasional nama orang Minang dan daerah Sumatera Barat pun kembali berkibar. Prof. Dr. Emil Salim, keponakan Pahlawan Nasional Haji Agus Salim, menjadi putra Minang pertama yang masuk dalam Kabinet Pembangunan I (1968-1973)-- kabinet pertama di bawah Presiden Soeharto. Jabatannya adalah Menteri Penertiban dan Pembersihan Aparatur Negara. Emil Salim, salah satu arsitek ekonomi rezim Soeharto dan Orde Baru, terpilih lagi menjadi Menteri Perhubungan dalam Kabinet Pembangunan II (1973-1978). Selama 15 tahun berikutnya ia terus mengisi kursi Kabinet dengan jabatan Menteri Negara Pengawas Pembangunan dan Lingkungan Hidup (1978-1983), dan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup selama dua periode (1983-1988 dan 1988-1993).

Nama Sumatera Barat semakin berkibar-kibar di pentas nasional era Orde Baru ketika Harun Zain ditunjuk Soeharto menjadi Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabinet Pembangunan III (1978-1983). Ia menjadi gubernur pertama yang dipromosikan sebagai menteri. Dalam periode tersebut, tiga putra Minang sekaligus duduk di puncak pemerintahan RI. Selain Emil Salim dan Harun Zain, Jenderal Polisi Prof. Dr. Awaloedin Djamin, bekas Menteri Tenaga Kerja masa transisi dan Dubes RI di Jerman Barat, ditunjuk menjadi Kepala Kepolisian RI (Kapolri).

Dalam dua dekade selanjutnya, Sumatera Barat menorehkan tinta emas sejarahnya sebagai daerah yang tiada bandingannya, ketika tiga bekas gubernurnya berturut-turut terpilih menjadi menteri. Azwar Anas setelah 10 tahun menjadi gubernur, terpilih menjadi Menteri Perhubungan (Kabinet Pembangunan IV, 1988-1993)) dan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) dalam Kabinet Pembangunan V (1993-1998). Gubernur selanjutnya, Hasan Basri Durin terpilih menjadi Ketua Fraksi Utusan Daerah (FUD) MPR pada era terakhir pemerintahan Soeharto, lalu ditunjuk menjadi Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional dalam Kabinet Reformasi Pembangunan di bawah Presiden B.J. Habibie.

Di luar Sumatera Barat, hanya tercatat tiga provinsi lain di Indonesia yang bekas gubernurnya dipercaya menjadi menteri. Itu pun masing-masing hanya satu orang, tidak tiga seperti Sumatera Barat. Gubernur Gubernur Jawa Tengah Soepardjo Rustam menjadi Menteri Dalam Negeri (1983-1988) dan Menko Kesra (1988-1993); bekas Gubernur Jawa Barat Yogie S. Memet menjadi Menteri Dalam Kabinet VI (1993-1998); dan, bekas gubernur DKI Jakarta Letjen Soerjadi Soedirdja sebagai Menteri Dalam Negeri Kabinet Persatuan Nasional (1999-2001). Terakhir, Gubernur Jawa Tengah Mardiyanto menjadi Menteri Dalam Negeri PAW (pengganti antar waktu) Letjen Mohammaf Ma’aruf dalam Kabinet Indonesia Bersatu di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Dekade terakhir Orde Baru boleh dikatakan juga merupakan masa keemasan Sumatera Barat dalam menyumbangkan putra-putra terbaiknya di puncak pemerintahan nasional. Pada Kabinet Pembangunan V (1988-1993), dari 40 pejabat tinggi negara setingkat menteri, empat orang di antaranya adalah putra Minang. Mereka adalah Emil Salim (Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup), Bustanil Arifin (Menteri Koperasi/Kepala Bulog), Azwar Anas (Menteri Perhubungan), dan Sjarifuddin Baharsjah (Menteri Pertanian). Lalu dalam jajaran menteri Kabinet Pembangunan VI (1993-1998) juga terdapat empat orang Minang, yakni Azwar Anas (Menko Kesra), Sjarifuddin Baharsjah (Menteri Pertanian), Tarmizi Taher (Menteri Agama), dan Abdul Latief (Menteri Tenaga Kerja). Dengan demikian, berarti orang Minang menyumbang sekitar 10 persen dari seluruh menteri dalam kabinet. Dibandingkan jumlah penduduk Sumatera Barat dengan seluruh penduduk Indonesia (4 juta : 190 juta = 2,1%) atau seluruh orang Minang di kampung maupun dirantau (lk. 8 juta : 190 juta = 4,2%), maka sumbangan mereka dalam elite (pemerintahan) nasional tetap melebihi proporsinya (Mestika Zed Dkk., 1997).

Bidang Militer, Profesional dan lain-lain

Orang Minang berperan tidak hanya di bidang politik, pemerintahan, pendidikan, kesusasteraan, ulama dan cendekiawan, tetapi juga mempunyai jejak yang jelas di berbagai profesi lainnya seperti militer, pengusaha dan professional.
Di bidang militer, meskipun belum pernah ada orang Minang yang mencapai pangkat jenderal bintang empat, namun ada sejumlah nama yang dicatat sejarah mempunyai peran yang menonjol dan strategis. Kolonel Mohammad Nazir tercatat sebagai pendiri Angkatan Laut RI pada awal masa Revolusi, kemudian pernah menjadi KSAL PDRI dan Menteri Pelayaran di zaman Presiden Soekarno.

Di Angkatan Darat ada sejumlah nama penting dalam sejarah kemiliteran Indonesia seperti Letjen Kemal Idris yang pernah menjadi Pangkostrad dan Komandan Kontingen Garuda I di Kongo; Letjen Rais Abin, putra Koto Gadang menjadi Panglima Pasukan PBB di Sinai; Letjen Adnil Hasnan Habib, seorang intelektual militer yang kemudian menjadi diplomat terkemuka; Letjen Saiful Sulun, Pangdam Brawijaya dan pernah menjadi Wakil Ketua MPR/DPR; serta Letjen Djamari Chaniago dari angkatan yang lebih muda pernah menjadi Panglima Konstrad dan Kepala Staf Umum TNI.

Di dunia usaha, tercatat nama-nama seperti Hasjim Ning, Rahman Tamin, Abdul Latief, Nasroel Chas, atau Basrizal Koto, seorang otodidak yang fenomenal. Namun putra-putra Minang cukup menonjol pula di dunia professional, para manajer handal yang malang melintang memimpin berbagai multinational corporation atau BUMN besar. Sebutlah misalnya nama Baihaki Hakim (Presiden PT CPI kemudian menjadi Direktur Utama Pertamina), Abdulgani Dt. Sidubalang, bankir terkemuka yang kemudian menjadi Direktur Utama Garuda Indonesia, atau dari generasi yang lebih muda seperti Arwin Rasyid yang pernah memimpin sejumlah bank besar serta menjadi Dirut PT Telkom, Hasnul Suhaimi yang pernah memimpin PT Indosat dan Excelcomindo, Erry Firmansyah yang memimpin Bursa Efek Indonesia, Fazwar Bujang (Direktur Utama PT Krakatau Steel). Atau seorang profesional seperti Dr. Djodi Firmansyah, ahli jembatan panjang pertama di Indonesia. Di dunia kedokteran juga ada nama Fahmi Idris, seorang dokter ahli jantung yang menjadi Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

Era Reformasi

Era Reformasi dan pasca runtuhnya kekuasaan Soeharto yang telah berlangsung selama 32 tahun, dapat dikatakan merupakan dekade paling dinamis dalam sejarah politik Indonesia. Masa ini dapat kita bandingkan dalam dekade pertama Indonesia Merdeka. Selama masa transisi dan Era Reformasi yang sangat dinamis itu, orang Minang tetap eksis dalam kepemimpinan nasional. Dalam Kabinet Reformasi Pembangunan Presiden Habibie, setidaknya ada tiga orang Minang yang duduk sebagai menteri, yakni Fahmi Idris sebagai Menteri Tenaga Kerja, Faried Anfasa Moeloek (Menteri Kesehatan) dan Hasan Basri Durin (Menteri Agraria dan Kepala BPN).

Hanya ketika Kabinet Persatuan Pembangun pertama dibentuk di bawah Presiden Gus Dur dan Wakil Presiden Megawati, tidak ada putra Minang yang duduk sebagai menteri. Tapi ketika kabinet di-reshuffle beberapa bulan kemudian, seorang putra Minang, Rizal Ramli, dipilih mengisi pos yang sangat strategis sebagai Menko Perekonomian, kemudian menjadi Menteri Keuangan ketika kabinet dirombak lagi.

Di bawah kepemimpinan Megawati sebagai presiden yang melanjutkan periode Gus Dur, orang Minang tetap dapat tempat dalam Kabinet. Yakni Bachtiar Chamsyah sebagai Menteri Sosial, dan putra asal Payakumbuh kelahiran Bangka-Belitung, Yusril Ihza Mahendra, yang menjabat sebagai Menteri Kehakiman. Kalaupun sumando orang Minang boleh diperhitungkan pula, ada tiga orang yang duduk dalam Kabinet Gotong Royong: Menko Perekonomian Dorojatun Kuntjoto-Jakti; H.M. Jusuf Kalla (Menko Kesra); dan Agus Gumelar (Menteri Perhubungan).

Sementara dalam Kabinet Indonesia Bersatu di bawah duet SBY-JK, terdapat empat menteri putra atau keturunan orang Minang, yakni Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah; Fahmi Idris (Menteri Tenaga Kerja kemudian menjadi Menteri Perindustrian); Meutia Hatta, putri Proklamator Bung Hatta, yang menjabat Menteri Pemberdayaan Perempuan; dan Yusril Ihza Mahendra yang hanya menjabat Menteri Sekretaris Negara selama separuh periode.

Riwayat Orang Minang Terkemuka

Riwayat orang-orang besar dan orang-orang terkemuka adalah jendela untuk melihat sejarah. Melalui biografi ringkas 100 Orang Minang Terkemuka Sepanjang Sejarah & 50 Orang Minang yang Menonjol di Bidangnya, penulis ingin memotret sejarah perjalanan bangsa ini, khususnya peran orang Minangkabau di dalamnya.

Mengenal profil dan biografi ringkas orang-orang terkemuka tersebut, berarti juga kita belajar tentang pergulatan hidup, perjuangan, idealisme, peran, dan sumbangsih mereka bagi masyarakat, nusa dan bangsa. Mungkin juga kita bisa belajar tentang kerja keras, kecerdasan, ilmu akal, atau mungkin nasib baik, dari pribadi yang unik, bahkan aneh dan berbeda dengan orang biasa.

Orang-orang terpandang, orang besar dan terkemuka, masing-masingnya adalah pribadi yang unik. Ketika mengulas tentang Chairil Anwar dalam bukunya In Memoriam: Mengenang Yang Wafat (Kompas, 2002), Rosihan Anwar mengemukakan satu hal mengenai orang-orang Minang terkenal dalam sejarah seperti Haji Agus Salim, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Ibrahim Datuk Tan Malaka, Mohammad Natsir, Mohammad Yamin, Hamka, dan lain-lain. 

Bila diteliti riwayat hidup mereka, ternyata mereka memiliki sifat yang tidak lazim. Mereka berbeda dengan rata-rata orang lain. Sifat aneh itu macam-macam wujudnya. Ada yang mendidik sendiri anak-anaknya, jadi tidak ke sekolah formal, seperti Haji Agus Salim. Ada yang selalu punctual, tepat waktu, tak boleh lambat barang semenit pun seperti Hatta. Ada yang mengarungi lautan politik dari satu ujung ke ujung lain, mulai dari Hamka sampai Tan Malaka. Ada yang eksentrik, punya kegemaran mendalami budaya Jawa Kuno seperti Yamin. Ada yang keras memegang ajaran Islam. Ada pula yang rada easy going, santai saja. Rosihan Anwar menamakan sifat khas orang Minang itu ‘gilo-gilo baso’, yang kalau diartikan dalam istilah Jawa kurang lebih sama dengan "gendheng".

Ditarik ke masa lebih ke belakang, fenomena ‘gilo-gilo baso’ itu pun masih tersua. Pada masa kejayaan Orde Baru, ketika mayoritas elite Minang meng-Golkar-kan diri, ada orang Minang bernama John Naro (Ketua Umum PPP) yang nekad berdiri di tempat berbeda dengan mencalonkan diri sebagai Wakil Presiden untuk Soeharto pada Sidang Umum MPR 1993. Tapi tak ada orang Minang yang mengeritik apalagi memakinya. Bahkan mereka bangga dengan keberanian atau kenekatan Naro.

Kita juga bisa belajar dari sikap seorang Muchlis Ibrahim, Gubernur Sumatera Barat yang keempat. Tatkala banyak orang mengejar pangkat dan jabatan dengan berbagai cara, Muchlis justru ‘nekat’ mundur dari jabatannya hanya karena pemerintah pusat mengangkat wakil gubernur yang tidak diusulkannya.

Ada juga pelajaran dari sikap dan keteguhan seorang Sjahril Sabirin yang patut dicatat dalam sejarah. Ia adalah Gubernur Bank Indonesia paling fenomenal, mungkin juga kontroversial. Ia telah tampil sebagai martir, rela dipenjara demi mempertahankan integritas profesionalnya serta menjaga independensi lembaga yang dipimpinnya. Ia tak mau tunduk kepada intervensi seorang presiden sekalipun, yang memberinya dua pilihan pahit: mengundurkan diri lalu ‘diberi hadiah hiburan’ sebagai duta besar, atau (kalau tetap bertahan) masuk penjara. Sjahril memilih yang kedua. Tetapi sejarah kemudian mencatat, Gus Dur yang lebih dulu dipecat MPR dan digantikan wakilnya Megawati. Sedangkan Sjahril Sabirin kemudian bebas karena dinyatakan tidak bersalah oleh pengadilan, sehingga dapat menyelesaikan tugasnya memimpin dan membangun BI yang independen hingga akhir masa jabatannya tahun 2003.

Pendidikan sebagai Kata Kunci

Di atas semua itu, dengan meneliti dan menyajikan riwayat 100 orang minang terkemuka dan 50 orang Minang yang menonjol di bidangnya, penulis ingin menangkap dan menyajikan nilai-nilai baik dan positif dari etnis Minangkabau, sehingga mereka mampu memberikan sumbangan yang besar bagi bangsanya. Sebaliknya, dengan mengupas riwayat dan profil mereka, kita pun akan mendapat jawaban, kenapa orang Minang bisa memiliki peran yang menonjol di pentas sejarah bangsa ini?

Salah satu kata kuncinya adalah: pendidikan. Dari berbagai literatur dan hasil penelitian sejarah kita ketahui, suku bangsa Minangkabau lebih dulu maju dibandingkan kebanyakan etnis lain di Indonesia, karena mereka sudah lebih dulu mengenyam pendidikan. Penelitian yang dilakukan oleh Elizabeth E. Graves, menyebutkan, bahwa salah satu kunci kemajuan orang Minang Abad ke-19 adalah karena mereka berhasil merespon dan memanfaatkan dengan baik keberadaan pendidikan Barat yang dikenalkan oleh Belanda di Minangkabau (Graves, 2007). Jauh sebelum suku bangsa lain di Indonesia mengenal pendidikan, orang Minangkabau sudah mengembangkan pendidikan agama Islam, madrasah-madrasah melalui surau-surau yang ada.

Setelah Belanda memperkenalkan pendidikan Barat sejak awal abad ke-19, orang Minangkabau meresponnya dengan tepat sehingga memberikan keuntungan untuk kemajuan suku bangsa ini. Mereka tidak hanya memasukkan anak-anaknya ke sekolah yang didirikan Belanda, tetapi juga dengan swadaya sendiri membangun banyak sekali sekolah dengan mengadaptasi model sekolah Balanda itu. Sehingga, jumlah sekolah di Minangkabau berkembang dengan sangat pesat. Dalam wilayah yang kecil dengan penduduknya yang juga tidak terlalu banyak, pada pertengahan Abad ke-19, di seluruh Minangkabau (Sumatera Barat), jumlah sekolah yang ada sudah mencapai separuh jumlah sekolah yang ada di seluruh Pulau Jawa dan Madura. Bahkan laporan yang lain menyebutkan, pada tahun 1925 jumlah seluruh sekolah yang terdapat di Minangkabau sudah dua kali lipat jumlah sekolah yang ada di Jawa dan Madura (Tempo, 12 Juli 1986)..

Dalam buku Sumatera Barat - Plakat Panjang, Rusli Amran melukiskan betapa antusiasnya orang Minangkabau Abad-19 hingga awal Abad ke-20 mendirikan sekolah di setiap kelarasan dan di nagari-nagari dengan cara swadaya. Mereka berlomba memasukkan anak-anaknya ke sekolah yang ada. Kalau sudah tidak ada lagi sekolah yang lebih tinggi di daerahnya, mereka kirim anak-anaknya sekolah ke Pulau Jawa, bahkan ke Negeri Belanda.

Selain haus dengan pendidikan, Taufik Abdullah mengistilahkan orang Minang “lapar akan kemajuan”. Ada dua hal pokok yang menjadi motivasi orang Minang untuk mencapai kemajuan. Pertama yang bersifat spiritual, yakni mencari ilmu. Kedua yang bersifat material, mencari ‘duit’, uang atau kedudukan.

Motivasi pertama, yang bersifat spiritual, berasal dari sikap hidup mereka yang egaliter, rasa persamaan atau kesederajatan dengan orang lain. Tidak mau kelangkahan, tidak mau kalah atau lebih rendah daripada orang lain dengan segala manifestasinya, baik individu maupun komunal: “Kalau orang lain bisa, kenapa saya tidak, kalau anak si anu bisa, kenapa anak kita tidak; kalau kampung si Anu bisa, kenapa kampung kita tidak”?

Motivasi kedua, yang bersifat material, diwujudkan pula dalam bentuk daya kompetisi atau persaingan untuk mencapai taraf yang lebih tinggi daripada orang lain –untuk mencari kekayaan atau mencari pangkat dan posisi atau jabatan. Hal ini biasanya ditunjukkan dalam tradisi merantau orang Minang, yakni dalam rangka mengembangkan diri atau mencari kehidupan yang lebih baik.

Menurut Rudolf Mrazek, penulis Biografi Sutan Sjahrir, ada dua tipologi budaya Minangkabau, yakni “dinamisme” dan “anti-parokialisme”. Keduanya ditandai dengan tradisi merantau, berjiwa merdeka, kosmopolitan, egaliter dan berpandangan luas. Kedua tipologi itu dapat kita temukan berjalin-berkelindan pada orang-orang besar dari Minangkabau seperti Bung Hatta, Tan Malaka, Muhammad Yamin, Sutan Sjahrir, Mohammad Natsir, Haji Agus Salim, Buya Hamka, Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Datuk ri Bandang, Chairil Anwar, dan lain-lain.

Dalam derajat dan kadar yang berbeda, nilai-nilai baik dan positif tersebut, juga kita temukan dalam riwayat hampir semua tokoh yang disajikan dalam buku ini. Mudah-mudahan bermanfaat.*

Orang Minang Terkemuka di Pentas Sejarah Catatan fb Hasril Chaniago tentang bukunya yang akan terbit dengan judul sama ,
Foto: Rumah Gadang di Singkarak, Koleksi Tropen Museum – Wikipedia.org
Postingan diperbarui Mei 2021








Redaksi TNCMedia

Support media ini via Bank Rakyat Indonesia (BRI)- 701001002365501 atau melalui Bank OCBC NISP - 669810000697

Posting Komentar

Silakan Berkomentar di Sini:

Lebih baru Lebih lama